0

Hakikat Manusia menurut John Dewey

p19fevt8i4roe17po1m4sba2323

John Dewey adalah seorang filsuf Amerika, psikolog, dan pembaharu pendidikan yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Ia mengembangkan gerakan pendidikan progresif di Amerika Serikat dengan metodenya yang terkenal, yaitu Learning by Doing (bekerja sambil melakukan).

RIWAYAT HIDUP

Dewey lahir di Burlington pada tanggal 20 Oktober 1859. Berasal dari keluarga sederhana, Dewey kecil gemar membaca namun bukanlah siswa yang brilian di antara teman-temannya. Tahun 1875 Dewey masuk ke Universitas Vermont dan mendapatkan gelar B.A. Kemudian ia melanjutkan kuliah di Universitas Jons Hopkins dan meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1884. Tahun 1884 – 1888 Dewey mengajar filsafat di Universitas Michigan, dan akhir tahun 1889 ia menjadi kepala bidang filsafat di sana. Tahun 1894 Dewey pindah ke Universitas Chicago dan menjabat sebgai pimpinan departemen filsafat sampai tahun 1904. Dewey mendirikan Laboratory School dan memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya. Tahun 1904 Dewey menjadi dosen di Universitas Columbia dan menjadi seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini Dewey banyak memberikan ceramah ke negara-negara Eropa, Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700 artikel. Dewey meninggal dunia pada 1 Juni 1952 di New York, Amerika Serikat.

PEMIKIRAN FILSAFAT

Pengaruh terbesar Dewey datang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Namun perlahan-lahan Dewey meninggalkan gaya pemikiran idealisme. Dewey mengembangkan pemikirannya dengan landasan pengalaman dan mengungkapkan teori pragmatisme yang didasarkan pada pemahaman bahwa sesuatu dianggap benar apabila memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Dewey menegaskan bahwa filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis. Dengan demikian filsafat dapat menyusun suatu sistem nilai atau norma.

HAKIKAT MANUSIA MENURUT JOHN DEWEY

Berikut pandangan Dewey mengenai manusia:

1. Manusia adalah makhluk sosial

Segala perbuatan manusia, baik atau buruk, akan dinilai oleh masyarakat. Akan tetapi manusia juga menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Ini berarti, manusia berkembang atas kemungkinan alamiahnya dan didukung oleh masyarakat yang ada di sekitarnya.

2. Setiap pribadi manusia memiliki insting dasar

Secara kodrati manusia memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial di sekitar manusia. Kemampuan atau insting-insting dasar itu sangat fleskibel atau tidak bersifat statis. Fleksibilitas insting manusia terlihat ketika bereaksi terhadap keadaan sekitarnya. Kebiasaan manusia terjadi saat ia berlaku sama terhadap kondisi atau stimulus tertentu, namun dapat berubah sesuai dengan tuntutan sekitarnya.

3. Kejahatan (evil) manusia

Kejahatan merupakan hasil dari cara manusia dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan dalam masyarakat dalam berpikir dan bereaksi terhadap kondisi sekitar.

 

Bibliography:

https://id.wikipedia.org/wiki/John_Dewey

https://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/pragmatisme-john-dewey/

https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2015/02/john-dewey-filsuf-psikolog-pembaharu-pendidikan.html

http://www.eurekapendidikan.com/2014/12/pemikiran-filsafat-dan-pendidikan-john.html

https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2015/02/john-dewey-filsuf-psikolog-pembaharu-pendidikan.html

 

 

0

Jean-Paul Sartre ~ Manusia dan Kebebasan

sartre1

Jean-Paul Sartre (1905 – 1980) adalah seorang filsuf yang terkenal dengan pikirannya tentang eksistensialisme yang tertuang dalam tulisan L’Existentialisme est un humanisme. Pemikiran Satre mengenai manusia dan kebebasannya dapat dipahami melalui pemahamannya mengenai eksistensi dan esensi manusia.

Menurut Sartre, eksistensi mendahului esensi; usaha untuk menjelaskan kenyataan adanya manusia tidak sama dengan kenyataan adanya benda-benda. Manusia memiliki martabat luhur dan kebebasan dalam diri untuk menjadikan dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkannya. Manusia secara sadar menggerakkan dirinya sendiri menuju ke masa depan yang membuka peluang dan kemungkinan bagi dirinya sendiri. Inilah esensi manusia yang menentukan dirinya sendiri tanpa intervensi dan campur tangan orang lain, namun hal ini dapat terjadi jika manusia telah ada lebih dulu. Sartre menyebut keberadaan manusia dengan istilah ėrtre pour-soi, being for itself; yaitu cara berada yang terbuka, dinamis, dan dengan kesadaran subyektif.

1. Manusia adalah Kebebasan yang Memilih dan Memutuskan

Semua manusia harus memilih dan mengambil keputusan. Manusia adalah individu yang terlebih dulu bereksistensi lau menentukan esensi dirinya sendiri dengan membuat pilihan-pilihan bebas. Kebebasan nampak dalam kenyataan bahwa manusia adalah bukan dirinya sendiri, melainkan selalu berada dalam situasi menjadi diri sendiri. Sehingga manusia dituntut untuk tidak berhenti pada dirinya sendiri, melainkan berusaha untuk mengubah dirinya. Pilihan dalam penentuan hidup ini adalah bentuk usaha manusia terhadap dirinya sendiri yang bertujuan untuk mencapai suatu kemungkinan dalam eksistensinya, maupun terhadap dunia. Kemungkinan-kemungkin itu sambung menyambung sepanjang manusia masih bereksistensi, dan usaha ini terjadi dalam dunia karena manusia adalah being in the world.

2. Kebebasan Manusia Menuntut Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri dan Orang Lain

Kebebasan manusia membuat pilihan disertai dengan rasa takut yang mendalam karena pilihan manusia juga menyatakan tanggung jawabnya terhadap diri sendiri dan orang lain. Pada waktu manusia menyadari dirinya menghadapi sesuatu dan memilih untuk berada, saat itu juga ia bertanggungjawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang. Dalam kebebasannya manusia memberikan peluang juga kepada manusia lain untuk mengungkapkan kebebasannya.

3. Kebebasan Manusia dan Eksistensi Tuhan

Sartre menyangkal eksistensi Tuhan dengan mengkritik pandangan yang menempatkan Tuhan sebagai pencipta. Hal ini terlihat dari pernyataannya bahwa eksistensi manusia yang menentukan esensi dirinya, bukan Tuhan atau orang lain. Jika Tuhan adalah Maha Tahu dan Maha Kuasa, maka segala yang bukan adanya Tuhan adalah ciptaanNya, sehingga esensi manusia telah ditentukan olehNya. Dengan demikian manusia tidak dapat berubah secara hakiki dan tidak dapat mencapai taraf tinggi karena manusia tidak dapat menentukan hidupnya secara bebas. Karena itu Satre berpendapat kalau manusia bebas, maka Allah harus tidak ada.

Being is. Being is in-itself. Being is what it is.

Jean-Paul Sartre

Bibliography:

  1. https://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/kebebasan-yang-memilih-memutuskan-dan-bertanggung-jawab/
  2. Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
0

Peradaban Manusia Menurut Auguste Comte

2-auguste-comte-1798-1857-granger

Isidore Auguste Marie François Xavier Comte, lebih dikenal sebagai Auguste Comte (1798 – 1857), adalah seorang filsuf Prancis yang memulai ilmu sosiologi melalui pemikirannya. Pemikiran Comte menghasilkan teori Positivisme yang menggunakan metode ilmiah dan diaplikasikan dalam ilmu sosial, sehingga ia tidak membicarakan tentang asal-usul manusia; namun ia mengajukan teori mengenai perkembangan manusia.

Menurut Comte, di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus dan jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan antara manusia dengan binatang, yaitu perkembangan intelektual (akal budi).

Sejarah umat manusia ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia. Tahap-tahap perkembangan (berpikir) manusia dibagi menjadi tiga, yaitu: tahap Teologis, tahap Metafisis, dan tahap Positif.

1. Tahap Teologis

Merupakan tahap paling awal dalam perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berpikir bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa yang disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. Tahap ini dijumpai pada manusia purba, di mana alam semesta dimengerti sebagai keseluruhan yang integral dan terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Keseluruhan alam semesta ini dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan, dan bertindak sendiri.

Ada beberapa cara berpikir dalam tahap ini:

a. Fetiyisme dan Animisme

Manusia purba tidak mengenal konsep abstrak; benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual. Manusia mempercayai adanya kekuatan magis di benda-benda tertentu,  yang mempunyai jiwa dan rohnya sendiri.

b. Politeisme

Adalah pemikiran yang lebih maju, yang sudah mulai mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebi umum berdasarkan kesamaan di antara mereka. Dalam tahap ini manusia tidak lagi berpikir tiap-tiap benda yang mempunyai roh, tapi tiap jenis atau kelas benda. Misalnya dalam cara berpikir animisme diyakini bahwa tiap sawah dan ladang dihuni oleh roh-roh leluhur penduduk desa, maka dalam cara berpikir politeisme diyakini bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang di desa manapun.

c. Monoteisme

Tahap tertinggi di mana manusia menyatukan roh (dewa) dari benda-benda, dan hanya mengakui satu Roh yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan kejadian, termasuk manusia, berasal dan berakhir dari kekuatan Roh itu, yaitu Tuhan.

Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang membawa pengaruh yang besar pada kehidupan manusia, karena dijadikan suatu pedoman hidup masyarakat dan landasan institusional dan alat jastifikasi suatu negara.

2. Tahap Metafisik

Pada prinsipinya hanya merupakan pengembangan dari tahap teologis. Perbedaan kedua cara berpikir tersebut adalah pada tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan bukti-bukti logis yang meyakinkannya tentang sesuatu dengan konsep-konsep abstrak dan metafisik. Manusia seringkali percaya bahwa Tuhan adalah makhluk abstrak, dan bahwa kekuatan atau kekuasaan abstrak itu menunjukkan dan menentukan setiap kejadian di dunia.

3. Tahap Positifistik

Disebut juga tahap ilmu pengetahuan, karena dalam tahap ini manusia sudah mampu berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, percobaan, dan perbandingan yang terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum yang ditemukan dengan cara demikian bersifat praktis dan bermanfaat, karena dengan mengetahui dan menguasai hukum-hukum tersebut kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala atau kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih baik. Menurut Comte, positivisme adalah cara intelektual memandang dunia yang merupakan perilaku tertinggi dan paling berkembang dalam kehidupan manusia.

Bagaimanapun Comte sadar bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus sekalipun tidak merupakan jalan lurus. Tiga tahap berpikir tersebut mungkin hidup berdampingan dalam masyarakat yang sama walau mungkin tidak selalu berurutan. Misalnya, ketika seorang masih berpikir secara metafisik atau teologis, berarti ia masih berpikiran primitif walaupun hidup di zaman modern. Perkembangan intelektual (berpikir) berlaku bagi manusia, baik sebagai kelompok masyarakat, maupun sebagai indvidu.

 

 

Bibliography:

Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

https://en.wikipedia.org/wiki/Law_of_three_stages

http://sosiatoris.mywapblog.com/pemikiran-auguste-comte.xhtml

http://nicofergiyono.blogspot.co.id/2013/10/pemikiran-pemikiran-auguste-comte.html

http://psychorevolution.blogspot.co.id/2011/02/positivisme-august-comte.html

0

Nitzsche dan Kehendak Berkuasa

quote-the-world-itself-is-the-will-to-power-and-nothing-else-and-you-yourself-are-the-will-friedrich-nietzsche-21-46-23

Friedrich Wilhelm Nietzsche, atau lebih dikenal dengan Nietzche, adalah sosok kontroversial dengan pemikiran yang sangat unik dan radikal dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi pada era abad ke-18. Pemikiran-pemikirannya menjadi inspirasi utama bagi gerakan postmodern.

Puncak pemikiran Nietzsche adalah konsep terpenting yang melekat dalam beberapa tulisannya, yaitu “the will to power” atau kehendak untuk berkuasa. Nietszche melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instinct) yang mirip dengan hewan maupun makhluk hidup lainnya. Menurut Nietzsche kehendak berkuasa adalah klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.

Bisa dikatakan bahwa Nietzsche mengembangkan konsep inti dari Schopenhauer yang mengadopsi gagasan-gagasan Timur. Nietzsche menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong peradaban adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam mencari kekuasaan. Dengan kata lain, segala perilaku dan tindakan manusia terdorong oleh suatu kehendak untuk berkuasa. Saat manusia menghadapi berbagai kesulitan hidup, manusia mempunyai pilihan untuk menghadapi semua persoalan dengan berani. Inilah yang membedakan pemikiran Nietzsche dengan Schopenhauer.

Konsep kehendak berkuasa memang bersifat ambigu, namun juga membongkar kemunafikan manusia modern yang menginginkan kekuasaan namun berpura-pura menolaknya karena alasan-alasan moral. Manusia berusaha menyembunyikan keinginan di balik rasio, namun rasio dan moralitas tidak berdaya melawan nafsu untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa itulah yang menentukan pikiran-pikiran kita.

Nietzhe mengajarkan untuk menerima diri kita apa adanya dan tidak menolak apa yang sesungguhnya menjadi dorongan alamiah manusia, yaitu kekuasaan. Penerimaan membuat kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

 

Bibliography:

Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

http://www.itsbagus.com/2013/07/friedrich-nietzsche.html

https://psikologibrawijaya.wordpress.com/2013/01/05/konsep-pemikiran-nietzche/

https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/

0

Arthur Schopenhauer

schopen

Arthur Schopenhauer (1788 – 1860) tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis. Ayahnya meninggal karena bunuh diri dan meninggalkan bisnis keluarga yang harus diteruskan oleh Schopenhauer. Schopenhauer adalah seorang yang unik dan kekaguman Schopenhauer pada Buddha dan Immanuel Kant membuat Schopenhauer memilih untuk mendalami filsafat dan meninggalkan bisnis keluarganya. Namun ternyata pilihan Schopenhauer juga tidak membuatnya hidup bahagia. Tulisan-tulisan yang diterbitkannya tidak berhasil, bahkan ia sampai membeli sendiri tulisannya untuk disimpan. Kehidupan sosialnya juga tidak berjalan dengan baik. Hubungan yang buruk dengan perempuan-perempuan dalam kehidupan pribadinya membuat Schopenhauer tidak mempercayai pernikahan dan memilih untuk hidup sendiri. Semua pengalaman buruk ini menjadikan Schopenhauer orang yang pesimis dan paranoid, sampai ia tidur dengan pistol di sampingnya karena sering merasa terancam.

Pada akhirnya penderitaan yang dialami Schopenhauer itulah yang membuatnya menggali lebih dalam mengenai filsafat kehidupan manusia. Dipengaruhi oleh ajaran Buddha dan Kant, Schopenhauer mulai mempertanyakan dan menentang filsafat yang ada saat itu. Pesimisme Schopenhauer menghasilkan pikiran-pikiran yang jelas dan konkret. Ia merasa kehidupan adalah sia-sia dan dunia adalah representasi ide atau pemikiran manusia. Realitas adalah kehendak itu sendiri, dan keinginan manusia adalah kehendak buta (blind will) yang menjadi sumber penderitaan manusia. Supaya tidak menderita, manusia harus menghilangkan egoisme dan menolong orang lain.

Pemikiran Schopenhauer sangat mempengaruhi beberapa filsuf yang ada saat itu, bahkan perkembangan pemikiran selanjutnya juga membuka jalan bagi perkembangan psikologi tentang alam bawah sadar. Ajarannya masih sangat relevan dengan kehidupan manusia sampai sekarang, terutama mengenai “kehendak”, seperti penjabaran berikut:

1. Kehendak Hidup

Menurut Schopenhauer kesadaran dan intelek pada dasarnya hanya merupakan permukaan jiwa kita, namun bukan hakikat jiwa yang sesungguhnya. Kehendak adalah hakikat manusia, yaitu kehendak untuk hidup dan memaksimumkan kehidupan.

Kehendak adalah suatu daya atau kekuatan hidup yang abadi dari keinginan yang kuat. Manusia didorong oleh apa yang mereka rasakan, yakni oleh naluri-naluri yang keberadaannya tidak mereka sadari. Sebagai pusat organ pikiran, kehendak merupakan pemersatu kesadaran, ide-ide dan pemikiran-pemikiran, serta mengikatnya dalam satu kesatuan yang harmonis.

2. Kehendak untuk Reproduksi

Musuh abadi dari kehendak untuk hidup adalah kematian. Kehendak untuk hidup dapat mengalahkan kematian dengan melakukan reproduksi. Reproduksi adalah tujuan utama dan naluri yang paling kuat dari setiap organisme, karena dengan cara itu kehendak menaklukan kematian.

3. Kehendak sebagai Kejahatan

Kehendak mengisyaratkan keinginan yang selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang diperoleh. Penderitaan dalam kehidupan semuanya bersumber dari keinginan yang memaksakan seluruh kekuatannya untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas.Tuntutan nafsu seringkali bertentangan dengan kesejahteraan pribadi kita dan membuatnya menjadi lemah. Kontradiksi merusak diri setiap individu, keinginan yang terpenuhi mengembangkan keinginan baru yang lebih besar, demikian seterusnya tanpa ada batasnya.

Gambaran menyeluruh tentang hidup sangatlah menyakitkan karena hidup adalah penderitaan. Bertambahnya pengetahuan bukan berarti bebas dari penderitaan, melainkan justru memperbesar penderitaan. Kita dipaksa untuk menilai dunia bukan secara “objektif”, melainkan berdasarkan titik pandang penderitaan dan kebutuhan aktual manusia. Namun, semakin kita mengenal nafsu-nafsu kita, semakin kita dapat menguasai diri kita sendiri. Rasio tetap diperlukan sebagai kontrol atas kehendak yang buta (blind will). Penolakan Schopenhauer akan kehidupan dan penderitaan justru menunjukkan bahwa kehendak bebas yang dimiliki manusia tidak lagi menjadi bebas pada saat manusia dihadapkan pada akibat dari keputusan yang diambilnya. Pada akhirnya kesadaran manusia terbukti lebih kuat dibandingkan nafsu dan keinginannya, karena manusia juga mampu memperhatikan kepentingan orang lain.

“Compassion is the basis of all morality.”

Arthur Schopenhauer

Bibliography:

  1. Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
  2. http://yufiali.weblog.esaunggul.ac.id/2014/04/10/kehendak-di-dalam-ajaran-schopenhauer/
  3. http://thephilosophersmail.com/relationships/the-great-philosophers-arthur-schopenhauer/
  4. http://psychoexpo.blogspot.co.id/2010/05/kehendak-buta-filsafat-arthur.html
  5. http://ykguntur.blogspot.co.id/2013/11/arthur-schopenhauer-1788-1868-komentar.html
  6. https://id.wikipedia.org/wiki/Arthur_Schopenhauer

 

0

Pemikiran René Descartes

rene-descartesRené Descartes (1596 – 1650) adalah seorang filsuf dan matematikawan Prancis yang sering disebut sebagai bapak filsafat modern dan menjadi pelopor aliran rasionalisme. Pemikirannya bahwa dasar filsafat haruslah rasio (akal) bertentangan dengan tokoh-tokoh gereja yang tetap yakin bahwa dasar filsafat haruslah iman. Untuk itu Descartes menyusun argumentasi yang amat terkenal dalam metode cogito Descartes.

Descartes menggunakan metode analistis kritis melalui keraguan (skeptis) dalam pencariannya akan kebenaran; yaitu dengan meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya, bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri. Ia takut bahwa mungkin saja berpikir tidak membawanya kepada kebenaran, tapi kepada kesalahan. Artinya mungkin saja bahwa pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa manusia kepada kebenaran, namun sebaliknya membawanya kepada kesalahan. Ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah. Sampai di sini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, namun ia tetaplah berpikir. Hingga akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ketika ia berpikir, maka ia ada. Atau dalam bahasa Latin: COGITO ERGO SUM, yang artinya I think, therefore I am – aku berpikir, maka aku ada.

Dalam Diskurus tentang Metode, Descartes menggambarkan awal usaha filosofisnya untuk meragukan semua hal secara sistematis. Tindakan meragukan yang dilakukannya justru memberikan bukti adanya kepastian. Kesimpulannya menghasilkan pemikiran-pemikiran sbb:

1.  Dualisme interaktif

Descartes membedakan secara tajam antara dua substansi manusia, yaitu tubuh dan jiwa.

a. Tubuh
Tubuh adalah keluasan. Tubuh tanpa jiwa hanyalah seperti mesin yang digerakkan secara mekanis oleh stimulus eksternal dan emosi, namun tanpa kesadaran.

b. Jiwa
Jiwa esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak bergantung pada ruang dan waktu. Jiwa tanpa tubuh bisa mempunyai kesadaran, tetapi ia hanya akan memiliki ide-ide bawaan saja. Jiwa menambah rasionalitas dan kehendak pada sebab-musabab perilaku.

2.  Ideae Innatae (ide-ide bawaan)

Ide-ide yang tidak bergantung dari pengalaman, tapi memang sudah ada dalam diri manusia sejak lahir.

a. Pemikiran (cogitans)
Memahami bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir, karena itu harus diterima bahwa pemikiran juga merupakan hakikat diri manusia.

b. KeTuhanan (dues)
Keberadaan Tuhan yang sempurna adalah pasti. Ide sempurna yang dimiliki manusia adalah karena kesempurnaan Tuhan yang menciptakan baik materi maupun jiwa adalah pasti.

c. Keluasan (extentio)
Segala sesuatu di sekitar kita dapat dipelajari dan dipahami menurut satuan geometris, sehingga dapat dijelaskan materi sebagai keluasan.

Paham dualisme Descartes ini menyebabkan ia kesulitan mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya. Descartes beranggapan bahwa konflik-konflik selalu terjadi antara jiwa dan tubuh. Pada akhirnya diambil kesimpulan bahwa pertarungan antara tubuh dan jiwa tidak lain adalah esensi dari kondisi manusia yang sebenarnya.

Bibliography:

Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

http://kharirotunnadhrohs.blogspot.co.id/2013/06/pemikiran-rene-descartes.html

0

Akulturasi Budaya – Betawi

ondel-ondel

Akulturasi budaya adalah proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan kebudayaan asing yang memiliki perbedaan, sehingga unsur kebudayaan asing itu lama-kelamaan diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian masing-masing budaya dan tetap mempertahankan ciri khasnya.

Akulturasi suatu budaya dapat terjadi karena manusia melakukan migrasi atau adanya gerak perpindahan dari suatu daerah ke daerah lain. Migrasi ini akan menyebabkan pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda, maka akibatnya adalah setiap individu dari kelompok-kelompok tersebut dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing bagi dirinya. Unsur-unsur baru yang datang tidak langsung diterima atau diadaptasi begitu saja, tetapi melalui proses pembelajaran terlebih dahulu, setelah itu dilakukan proses penyesuaian dan adaptasi.

Akulturasi akan mudah terjadi apabila ada toleransi antar kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan sendiri, sikap saling menghargai terhadap kebudayaan lain, sikap terbuka dari golongan masyarakat, adanya kesiapan pengetahuan dan keterampilan, serta adanya kemungkinan kebudayaan yang datang memberikan manfaat lebih besar bila dibandingkan dengan kebudayaan lama.

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam akulturasi budaya. Dengan latar belakang wilayah yang sangat luas, juga masa penjajahan bangsa Eropa serta pengaruh dari kedatangan bangsa Cina dan Arab untuk berdagang di Nusantara, membuat Indonesia menjadi sangat kaya dengan ragam budaya yang ada sekarang. Salah satu contoh yang paling menonjol sebagai hasil akulturasi budaya adalah etnis Betawi – yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

0

Pendidikan dan Perkembangan Anak Usia Dini di Indonesia

“Your child will follow your example, not your advice.” Kutipan ini sangat pas untuk menggambarkan bagaimana anak belajar dari meniru apa yang dilihat dan didengarnya. Anak akan melakukan hal seperti yang kita lakukan atau katakan.

Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini sudah semakin meningkat sekarang ini. Sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar mengenai maksud dan tujuan sesungguhnya dari diadakannya sistem pendidikan ini. Ekspektasi yang tinggi terhadap aspek kemampuan kognitif anak menyebabkan arah pengembangan pendidikan anak usia dini masih kurang tepat.

tumblr_ncdzslsbbp1ss9339o1_500

Gambar di atas sangat tepat sekali menggambarkan sistem pendidikan di Indonesia. Segala sesuatu diberikan standarisasi. Artinya tingkat kemampuan seorang anak dinilai dari potensi kognitifnya saja. Sayang sekali sekarang ini tidak banyak yang menyadari bahwa orangtua juga berperan penting dalam pola asuh dan pendidikan anak khususnya di usia dini.

Yang terpenting adalah menyadari bahwa bukan ilmu pengetahuan yang paling penting untuk dipelajari oleh anak-anak. Etika dan karakter yang baik jauh lebih penting. Dengan didikan dasar karakter yang baik dan potensi yang diarahkan, anak-anak akan tumbuh berkembang secara maksimal, baik dalam EQ (Emotional Quotient /kecerdasan emosi) maupun IQ (Intelligence Quotient). Sekolah yang baik akan membuat anak-anaknya betah bersekolah dan belajar dengan antusias. Anak akan semakin kritis dan berani mengungkapkan pendapatnya, namun perilakunya tetap santun dan menghargai orang lain.

Being a kindergarten teacher, this thing really concern me. So i tried to write my thoughts about early childhood education. Hopefully this will raise our awareness of how important it is to be involved in our children’s education, especially during their early live. 

0

Confucius

991734a20a78bfdff0b91f3027db0802

Confusius atau Kong Hu Cu (孔夫子/ Kǒng Fūzǐ), kadang-kadang sering hanya disebut Kongcu (孔子/ Kǒngzǐ) adalah seorang guru atau orang bijak yang terkenal dan juga filsuf sosial Cina.

Konfiusianisme merupakan pengajaran falsafah untuk meningkatkan moral dan menjaga etika. Konfusianisme berasaskan ajaran Confucius dapat dirumuskan dalam konsep Rén (cinta kasih), yaitu falsafah yang menekankan perasaan perikemanusiaan terhadap orang lain dan harga diri. Ajaran yang mendalam dari Confucius terletak pada tekanannya untuk membangun diri, keteladanan moral serta kemampuan untuk membuat keputusan yang terlatih dengan baik. Secara umum ajaran Confusius mengenai orang berbudi harus mengamalkan sikap yang mulia, antara lain:  Rén, Yì, Lǐ, Zhì, Xìn, Zhōng Shù, Tiānmíng, dan Jūnzǐ.

Ajaran Konfusianisme sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Sebagai masyarakat modern yang individualitasnya semakin tinggi, alangkah baiknya apabila kita dapat merenungkan dan mengaplikasikan falsafah ini dalam etika keseharian yang baik. Terlebih lagi falsafah ini dapat diturunkan kepada generasi penerus kita agar dapat menumbuhkan generasi yang bisa memperbaiki moral bangsa.

Berikut uraian mengenai Confucius dan Presentasi Confucius

0

Humanistic Approach

Pendekatan Humanistik lahir sebagai respon keprihatinan terhadap teori-teori yang sudah ada sebelumnya, seperti teori psikoanalisis dan behaviorisme. Beberapa psikolog pada waktu itu tidak menyukai uraian teori yang sudah ada tentang kepribadian, yang dirasakan gagal menangani masalah-masalah seperti makna perilaku dan sifat pertumbuhan yang sehat. Tokoh-tokoh humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat kehidupan mereka. Mereka berupaya mengkaji secara khusus tentang keunikan dan sifat alamiah manusia, serta bagaimana manusia memiliki potensi yang perlu diaktualisasikan dan dorongan-dorongan yang murni berasal dari dalam dirinya. Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.

Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia atau dengan Freud yang melihat motivasi sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki binatang.

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia lain, berkompetensi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motivasi dalam level yang lebih rendah seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan. Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.

Maslows-Hierarchy-of-Needs

Berikut paparan mengenai Maslow’s Hierarchy of Needs.